HUKUM PERDATA
A.
ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Istilah hukum
perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan
dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping
istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli
memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum
perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu
peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan
hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain
yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan
atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan
perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas”
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para
ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang
yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan
hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk
pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik
tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu
dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan
kemasyarakatan.
Di dalam
hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1.
Kaidah tertulis
Kaidah hukum
perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2.
Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum
perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh,
dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1.
Manusia
Manusia sama
dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2.
Badan hukum
Badan hukum
adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan,
serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang
diatur dalam hukum perdata antara lain:
1.
Hubungan keluarga
Dalam
hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2.
Pergaulan masyarakat
Dalam
hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum
perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan
unsur-unsurnya yaitu:
1.
Adanya kaidah hukum
2.
Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3.
Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum
keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan
kadaluarsa
HUKUM PERIKATAN
Perikatan
adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih di dalam lapangan harta
kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai
kewajiban atas suatu prestasi. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan
Undang-undang. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum.
Unsur-unsur
perikatan:
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.
●
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
- Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
- Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
- Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
- Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
- Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
- Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
- Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
●
Azas-azas Dalam Hukum Perikatan
1. Asas Kebebasan Berkontrak : Ps. 1338: 1 KUHPerdata.
2. Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
3. Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
1. Asas Kebebasan Berkontrak : Ps. 1338: 1 KUHPerdata.
2. Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
3. Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
Pengecualian
: 1792 KUHPerdata
1317 KUHPerdata
1317 KUHPerdata
Perluasannya
yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
HUKUM PERJANJIAN
A. PERJANJIAN
PADA UMUMNYA
Menurut Pasal
1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut
Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa
azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya
yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
Azas
Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah
lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian
tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Azas
Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk
menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal
1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu:
Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian
itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan
tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu
bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut
hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian yakni:
–
Orang yang belum dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)
Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat
perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.
(ii)
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria
adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah
mencapai umur 16 tahun.
–
Mereka yang berada di bawah pengampuan.
–
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
–
Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai
suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut
harus mengenai suatu obyek tertentu.
Suatu sebab
yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan
hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban
Syarat No.1
dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya
atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4
disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila
syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi,
perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan
apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal
demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian
atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,
tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
Tidak
melaksanakan isi perjanjian.
Melaksanakan
isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
Terlambat
melaksanakan isi perjanjian.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya
suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Pembayaran
b. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
c. Pembaharuan
utang atau novasi
d. Perjumpaan
utang atau Kompensasi
e. Percampuran
utang
f. Pembebasan
utang
g. Musnahnya
barang yang terutang
h. Batal/Pembatalan
i. Berlakunya
suatu syarat batal
j. Lewat
waktu
B.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau
kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
- Judul/Kepala
- Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
- Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
- Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
- Penutup dari Perjanjian.
C.
BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian
dapat berbentuk:
Lisan
Tulisan,
dibagi 2 (dua), yaitu:
–
Di bawah tangan/onderhands
–
Otentik
HUKUM DAGANG
PENGERTIAN
HUKUM DAGANG, Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku
manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau
hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu
sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut
arti luas dibagi 2 :
• tertulis dan
• tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17. Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya, ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1. Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata
https://dewimanroe.wordpress.com/2013/05/11/hukum-perikatan/
https://japandiadam.wordpress.com/2014/06/30/hukum-dagang/
https://dewimanroe.wordpress.com/2013/05/11/hukum-perikatan/
https://japandiadam.wordpress.com/2014/06/30/hukum-dagang/