Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat)
antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono)
dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA dimenangkan
oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007
yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudah
mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik. Kasus sengketa tanah meruya ini
tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan dalam masalah ini.
Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa punya
sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT
Portanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala
keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA.
Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di atasnya terdapat
fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi.
Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun
lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, dimana warga meruya
sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan
kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan
sertifikat tanah yang masih bersengketa. Kasus sengketa tanah ini berawal pada
kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal
dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri
cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka
dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996). Sengketa tanah
yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu singkat.
Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni, lingkungan
sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih
berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah meruya
tersebut.
Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan baik
seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin
kehilangan hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya
berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan
mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah
banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki
sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan
dalam memperoleh sertifikat tanah. Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum
pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN) yang
bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT.
Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra
yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi
tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi
tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat
tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.
ANALISIS:
Hukum perdata adalah ketentuan hukum materil yang
mengatur hubungan antara orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum
perdata berisi tentang hukum orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta
kekayaan yang meliputi hukum benda dan hukum perikatan
Kasus diatas termasuk dalam kasus perdata Karena
telah terjadi persetujuaan antara pihak PT. Portanigra dengan pihak H.
Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono dalam hal jual beli
tanah. Di dalam hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai
hukum peedata adalah jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang
menyetujui antara hak dan kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum
kekayaan.
Tetapi dalam kasus diatas telah terjadi suatu
sengketa tanah antara PT. Portanigra dengan H. Djuhri dan Muh. Yatim Tugono.
Sengketa ini berawal dari penjualan tanah meruya dulu antara PT.
Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada
1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya
kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat
secara perdata (1996)
Dalam KUH Perdata pasal 1366 berbunyi “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”. Disini jelaslah bahwa Juminten melanggar UU tersebut.
SOLUSI:
Menurut saya solusi dari permasalahan diatas ialah Pihak
PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga bahwa PT. Portanigra mengikhlaskan
tanahnya kepada warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli.
Warga yang menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali
mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.pengadilan
juga telah memutuskan bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola lahan kosong
sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya
Residence lebih tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke
PortaNigra.
Sumber: